Truth Or Dare (Chapter 5)
Yoona
Siwon
Sooyoung
Dan pemain lain sesuai jalan cerita^^
WARNING!!!
Typo(s)
DON’T LIKE DON’T READ, ok?
Summary:
Truth or dare? Itu adalah sebuah permainan. Kalau kau memilih truth, itu artinya kau harus menjawab pertanyaanku dengan jujur. Tapi jika kau memilih dare, kau harus mengikuti segala perintahku / Yoona, Siwon, Sooyoung. Dan pemain lain sesuai jalan cerita^^
Note:
Judul sama Summary nggak nyambung sama cerita. Abis nggak jago bikin Summary sama Title. Wkwk.
.
Let’s Read!!
.
.
.
-Yoona
POV-
Besok aku
akan dirawat di rumah sakit. Hah, itu pasti akan terasa sangat membosankan. Tapi
demi kesembuhanku aku akan melakukan apa saja lah. Oh iya, sampai saat ini aku
juga belum mengabarkan pada keluargaku di Busan. Sebaiknya ku telpon sekarang.
Ah tidak-tidak lebih baik aku yang datang ke Busan hari ini.
“Sooyoung,
hari ini aku tidak masuk sekolah.” Ucapku di telepon.
“Mengapa?”
“Aku
harus kembali pulang ke Busan. Hm, nanti saat pulang darisana aku akan
menceritakan semuanya padamu. Dan tolong rahasiakan ini pada Siwon, ne?”
“Ke
Busan? Untuk apa? Dan mengapa harus dirahasiakan dari Siwon?”
“Sudahlah….”
Sooyoung
menghembuskan nafasnya. “Baiklah, apa aku boleh menemanimu?”
“Tidak
usah, nanti Siwon malah curiga..”
“Baiklah
kalau begitu. Hati-hati di jalan, ne?”
“Ne,
bye!”
***
Sudah kira-kira
dua tahun aku tak bermain ke Busan. Bagaimana kabar rumah eomma dan appa? Aku
sangat merindukan rumah itu.
Aku
berjalan menuju rumah dengan seingatku. “Eomma!! Yoona eonni pulang!” seru
Soojung saat aku memasuki rumah.
Tak lama
kemudian eomma keluar dari pintu rumah. “Ah, Yoona… Apa kabarmu? Kau terlihat
kurusan? Apa kau baik-baik saja?” tanya eomma padaku.
Apa aku
baik-baik saja? Apa terkena penyakit kanker otak itu baik-baik saja?
Aku
memberikan segaris senyum pada eomma seraya memeluknya. “Kau semakin tinggi
ne?” responnya saat aku memeluknya.
“Soojung,
kau tumbuh dengan cantik ne?” ucapku seraya mengusap lembut rambut saengku ini.
“Eomma, kemana Yuri eonni dan appa?”
“Yuri
sedang menemani appamu pergi. Tumben sekali kau pergi ke Busan? Ada apa?” tanya
eomma seraya memberikan segelas minum untukku.
Apa aku
harus menceritakannya sekarang? Ah tidak-tidak, aku akan membicarakannya saat
appa tiba. “Hm, nanti saja Yoona ceritakan, jika sudah ada appa..”
“Baiklah….
Apa kau lelah? Kalau kau merasa lelah, lebih baik kau istirahat terlebih
dahulu..” ucap eomma seraya duduk di dekatku.
Aku
memijat pelipis mataku. Ya, aku memang merasa sangat lelah dan pusing. “Ne,
baiklah eomma… Sepertinya aku memang butuh istirahat.” Ucapku. “Aku istirahat
dulu ne?” tanyaku yang dibalas dengan anggukan eomma.
Aku memasuki
kamar Soojung, dan aku memilih tidur disana. Ya itu karena dulu kamar Soojung
adalah kamarku bersamanya. Sejak orang tua Siwon mengajakku untuk sekolah di
Seoul, aku jadi jarang sekali tidur di ranjang ini.
Omong-omong
tentang Siwon, sedang apa ya dia? Apa dia mengkhawatirkanku? Aku kan tak izin
padanya kalau aku pergi ke Busan. Apa dia khawatir?
Aku
melihat jam tangan yang ku gunakan. Sudah pukul setengah sepuluh. Saat ini
murid Seoul senior high school pasti sedang istirahat pertama. Lebih baik aku
menelpon Siwon saja.
“Halo..” ucapku
di telepon saat Siwon telah menjawab panggilanku.
“Halo..” jawab
Siwon tak bersemangat.
“Apa kau
baik-baik saja?” tanyaku begitu mendengar suaranya yang terdengar lemas.
“Menurutmu?”
tanyanya balik dengan nada ketus.
“Kau
kenapa, Siwon? Kau baik-baik saja kan?” tanyaku lagi.
“Apa aku
terdengar seperti orang ‘baik-baik saja’?” tanyanya balik lagi.
“Kau
sakit?”
“Ya.”
“Astaga,
kau sakit apa, Siwon? Mengapa kau tak menghubungiku?”
“Sakit
hati.”
“Maksudmu?”
tanyaku yang bingung dengan jawaban Siwon.
Di
seberang Siwon menghembuskan nafas panjangnya. “Apa kau tidak merasa sakit hati
jika teman bahkan sahabatmu pergi meninggalkanmu tanpa memberi kabar
sedikitpun? Apa kau tidak merasa sakit hati jika temanmu yang dulu sekalipun ia
sibuk akan mengabarkanmu namun saat ini tidak? Apa kau tidak sakit hati jika kau
dilupakan oleh sahabatmu? Dia adalah sahabatmu yang sudah delapan tahun bersamamu.
Apa kau tidak sakit hati?” sindir Siwon dengan menebalkan kalimat terakhirnya.
Dan itu membuatku menjauhkan handphoneku beberapa senti dari telingaku.
Jujur
saja, aku memang merasa bersalah. Aku takut Siwon mengkhawatirkanku. “Maafkan
aku, Siwon..”
“Kau
fikir segampang itu meminta maaf? Aku disini mengkhawatirkanmu, mencoba
menelponmu namun handphonemu sedang ada di luar jangkauan. Menunggu kabar
darimu, tetapi kau mengabarkanku sangat terlambat. Bahkan kau sengaja
merahasiakannya dariku kalau kau pergi ke Busan.”
Hah?
Siwon tau kalau aku pergi ke Busan? “Kau….
Bagaimana.. Kau?”
“Tak usah
banyak bertanya. Aku mendengarmu saat kau menelpon Sooyoung. Mengapa Sooyoung
kau kabari sedangkan aku tidak, hah? Bahkan kau sengaja merahasiakannya dariku.
Begitu menyebalkan. Kau tidak menganggapku sebagai temanmu,”
“Siwon,
aku tak bermaksud seperti itu, aku hanya tid—”
“Apa
harus aku mendengarkan alasanmu yang omong kosong itu?” sela Siwon membuatku diam
membeku. Mengapa dia jadi seperti ini? Sebegitunyakah? Apa dia benar-benar
marah padaku sampai ia berkata bahwa alasanku adalah omong kosong?
Tak
terasa air mataku menetes. Dan isakankupun mulai terdengar. Hey, aku menangis?
“Yoona?”
tanya Siwon. Kali ini suaranya tidak meninggi seperti tadi. Namun aku tetap
tidak berani menjawabnya, aku takut Siwon mendengar isakanku.
“M-maaf..
hiks.. Siwon…”
“Hey, kau
menangis?” tanya Siwon. Kali ini suaranya kembali lembut.
“A-aku…
hiks… aku m-memang… hiks… ada.. hiks… di Busan.. hiks.. maaf, hiks… aku tidak…
hiks… m-mengabarimu.. hiks..” ucapku sehingga membuat isakanku terdengar oleh
Siwon.
“Yoona?
Kau menangis? Ah, maafkan aku….” Ucapnya dengan nada merasa bersalah. “Kapan
kau kembali ke Seoul, hm? Aku bisa menjemputmu..”
“Entahlah,
hiks… Mungkin nanti sore, hiks..” aku mencoba menarik nafas dan
menghembuskannya, agar isakanku tak terdengar.
“Uljimma….
Nanti sore aku akan menjemputmu..”
“Baiklah…
See you!”
“See
you!”
***
Aku
terbangun dari tidurku. Setelah tadi aku menelpon Siwon, entahlah aku
jadi tidak merasa gelisah lagi. Aku merasa tenang. Sehingga membuatku tertidur.
Sekarang sudah
pukul setengah dua belas siang. Hah… Apa lebih baik sekarang saja aku
menceritakannya pada eomma dan appa?
Aku berjalan ke
luar kamar. Di ruang keluarga aku melihat appa, eomma, dan Yuri eonni. “Kau
sudah bangun? Bagaimana istirahatmu hm?” tanya Yuri eonni ketika aku muncul
diantara mereka.
“Nyenyak..”
singkatku dengan memberikan segaris senyuman.
Aku
menarik nafas sedalam mungkin dan menghembuskannya secara perlahan. Aku tidak
tahu bagaimana respon mereka saat mendengar aku mengidap penyakit yang cukup
parah. “Eomma…. Appa… Sebenarnya ada yang ingin ku bicarakan pada kalian..” ujarku
seraya menunduk.
“Apa yang
ingin kau bicarakan pada kami nak? Mengapa wajahmu seperti itu?” tanya Appa.
Sungguh, aku merasa takut.
“Aku….. Appa, eomma…” jujur. Aku bingung harus
menceritakannya darimana.
Appa dan
eomma mengangkat salah satu alisnya. “Akhir-akhir ini aku sering merasa pusing.
Sooyoung menyarankanku untuk pergi ke rumah sakit. Dan saat aku pergi ke rumah
sakit, sang uisa mengatakan jika aku….. Mengidap penyakit kanker otak.” Ucapku
gugup dengan menunduk.
“MWO?!” ucap
eomma kaget. Aku pun bisa melihat dari wajah appa kalau ia kaget. Tapi ia tidak
berteriak layaknya eomma.
“Bagaimana
bisa seperti itu? Sejak kapan?” ucap eomma iba. Terlihat sekali dari wajahnya,
kalau ia benar-benar tak percaya.
“Aku tak
tahu tepatnya sejak kapan. Yang jelas, akhir-akhir ini aku sering merasa pusing
yang luar biasa.” Jelasku masih dengan menunduk. Mataku terasa panas, air
mataku mulai menggenangi pelupuk mataku, yang akan mengalir dalam satu kedipan.
“Hiks…”
akhirnya satu isakanku terdengar. Yuri eonni segera datang ke sebelahku. Lalu
ia memelukku dan ia membiarkan aku menangis di pundaknya. Sepertinya ia juga sedang
menangis. Oh Tuhan, aku telah menjatuhkan banyak tetesan air mata. “Eonni, aku
akan mati…” gumamku yang hampir tak terdengar. Entahlah, gumaman ini muncul
begitu saja tanpa aku sadari.
“Anio,
kau akan sembuh. Pasti..” ucap Yuri eonni.
Aku
menatap wajah Yuri eonni, eomma, dan appa. Yuri eonni dan eomma terlihat sudah
menangis. Sudah menjatuhkan air mata. Namun tidak dengan appa. Meski dia
terlihat tidak menangis, tetapi aku bisa melihat sorot matanya yang menyiratkan
kesedihan. Oh Tuhan, aku telah membuat orang tuaku sedih. Dosaku sudah terlalu
banyak.
“Uljimma…”
itu yang sedari tadi diucapkan Yuri eonni dengan memelukku.
Eomma
menghapus air matanya, “Lalu bagaimana pengobatanmu?”
Aku
mengangguk. “Mulai besok aku akan di rawat di Seoul hospital. Ku harap eomma,
appa, dan Yuri eonni mendoakanku.” Ucap ku yang diikuti dengan isakan.
“Selalu! Kami
selalu mendoakanmu, Yoona..” ucap Eomma lagi. Yuri eonni masih
mengangguk-angguk.
“Nanti
appa akan mengirimkan uangnya.” Ucap appa akhirnya setelah sejak tadi ia hanya
berdiam diri.
“Gomawo,
appa…” ucapku. “Nanti sore aku langsung pulang ke Seoul.”
“Cepat
sekali? Memangnya naik apa?” tanya Yuri eonni.
“Siwon yang
menjemputku.”
***
-Siwon
POV-
Saat ini
aku akan pergi menjemput Yoona di Busan. Jujur saja aku merasa ada yang
mengganjal dalam fikiranku. Apa Yoona baik-baik saja? Ya. Tentu. Ia akan
baik-baik saja.
Aku
menjalankan mobilku dengan segera menuju Busan. Dan aku menyalakan lagu agar
suasana lebih tenang.
Sampailah
aku di Busan. Tempat tinggalku kecil dulu. Sudah lama aku tak berkunjung
kesini, suasananya masih sama. Menyenangkan. Aku jadi merindukan saat-saat main
bersama Yoona di Busan ini.
Ketika
aku menghentikan mobilku di depan rumah Yoona, aku sudah melihat keluarga Yoona
disana. Namun mata Yoona, Ahjumma, dan Yuri noona terlihat sembab. Memangnya
mereka kenapa? Apa mereka habis nangis?
Aku turun
menuju keluarga Yoona. Aku bersalaman dengan Im Ahjusshi, Im Ahjumma, dan Yuri
noona. Lalu aku mengacak-acak rambut Soojung. Ia masih tampak cantik, dan lucu.
“Gomawo
Siwon sudah mau menjemput Yoona. Maaf merepotkanmu,” Ucap Im Ahjusshi dengan
sedikit membungkukkan tubuhnya.
Aku pun
membungkukkan tubuh pula. “Cheonma, ahjusshi. Ah tak masalah, aku tak merasa
direpotkan,” jawabku dengan senyum.
“Lebih
baik kita langsung pulang saja. Agar pulangnya tidak terlalu malam.” Ucap Yoona
datar. Mengapa sikapnya seperti ini?
“Baiklah
kalau begitu, hati-hati di jalan ne! Jaga kesehatan kalian!” ucap terakhir Im Ahjumma
sebelum kita berjalan menuju mobil. Yoona hanya tersenyum getir. Ia kenapa?
Di mobil
pun Yoona hanya terdiam. Sejak tadi ia melamun, sepertinya ada yang menguasai
fikirannya. Setiap kali aku melihatnya, tatapannya kosong. Iya, dia memang
sedang melamun.
“Siwon,
ada yang ku ingin katakan padamu.” Ucapnya akhirnya setelah keheningan
menyelimuti kami.
“Apa?
Katakan saja, Yoona!” ucapku dengan senyum dan menoleh ke arahnya.
Yoona
menggeleng, “Tidak sekarang.” Lanjutnya yang berhasil membuat alisku berkerut.
“Lalu?”
“Nanti
saja jika sampai di rumahku.” Singkatnya masih dengan muka yang datar. Aku
hanya menggelengkan kepalaku, lalu aku menyalakan lagu. Mencoba menghilangkan
keheningan diantara kami.
***
“Aku
sudah memikirkan dare untukmu. Dan
aku sudah punya tantangannya.” Ucapnya saat kami sudah sampai di depan rumah
Yoona.
“Oh ya?
Apa itu?”
“Kau
harus menjauhiku.” Singkatnya.
Menjauhinya?
“Maksudmu?”
“Dua
bulan ini, kau harus menjauhiku. Kau tidak boleh menanyakan kabarku,
menjemputku, datang ke kelasku, ataupun tanya ke Sooyoung segala tentangku.” Lanjutnya.
Sebenarnya maksudnya dia itu apa?
“Bukankah
dare dariku untukmu masih berlaku
untuk lima hari ke depan?”
“Masalah
itu, setiap pagi aku masih akan mengucapkannya. Hanya mengucapkannya. Kau tak
boleh bicara padaku. Kau tak boleh menanyakan kabarku. Namun setelah lima hari
itu, kita benar-benar tidak boleh bertemu, tidak boleh bertanya apapun. Kau
tidak boleh datang ke rumah ini ataupun ke kelasku. Kau boleh berbicara dengan
Sooyoung asal tak membicarakanku. Hanya dua bulan, Siwon..” jelasnya panjang
lebar.
Maksudnya
memberiku tantangan seperti ini untuk apa? Bagaimana bisa aku jauh darinya?
Sekalipun hanya dua bulan. Dua bulan akan terasa sangat amat lama. “Mengapa seperti
itu?”
“Kita tak
selamanya bersama, Siwon.. Suatu saat kita akan berpisah. Maka dari itu, mulai
dari sekarang kita harus bisa menyesuaikannya..” ucapnya. Kali ini suaranya
terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
“Aku yakin kamu
bisa. Hanya untuk dua bulan kok. Tak lama.” Ucapnya dengan segaris senyum di
bibirnya. Senyum yang akan aku rindukan.
Aku benar-benar
tidak dapat menerima tantangan ini. Yoona menghembuskan nafasnya, ia mencoba
menyentuh tanganku. Namun aku menepisnya. Yoona kembali menghembuskan nafasnya.
“Apa yang ingin kau katakan padaku sebelum tantangan ini berjalan?” tanyanya.
Namun aku tak dapat menjawabnya.
“Kau adalah
teman terjahatku! Kau jahat, tidak punya hati, kau tidak dapat mengerti
perasaan orang! Yang kau fikirkan hanya dirimu saja, kau egois!” ucapku. Saat
ini aku benar-benar emosi. Namun Yoona terdiam dengan menunduk.
“Ada lagi?” ucapnya
dengan suara yang getir. Apa dia menangis? “Tidak? Baiklah, terimakasih telah
menjemputku. Aku mencintaimu, Siwon..” ucapnya. Dia mencintaiku?
Aku ingin
menahan tangannya, namun tak bisa.
-Siwon
POV end-
0 Comment